Selasa, 01 Juni 2010

Putusan MA atas Kasus KPC



Vonis putusan Peninjauan Kembali (PK) dari MA yang memenangkan salah satu perusahaan grup Bakrie, yaitu PT. Kaltim Prima Coal (KPC) pada 24 Mei 2010 yang lalu jelas merupakan bentuk kekalahan yang sangat menyakitkan, tidak hanya bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tetapi juga kita semua warga Indonesia sebagai sesama pembayar pajak. Kalau dihitung, kekalahan ini adalah merupakan kekalahan kedua kalinya bagi DJP setelah kekalahan pertama pada saat pengajuan banding di Pengadilan Pajak. Publik, atau masyarakat tentu bertanya-tanya bahwa pasti ada apa-apa di belakang semua ini. Kita semua pasti mafhum, karena sudah menjadi rahasia umum, bahwa apabila ada kepentingan kelompok besar yang bermain disitu atau bersengketa dalam peradilan pasti akan menang dan ujung-ujungnya akan mengalahkan kepentingan umum. Sungguh, suatu rahasia umum yang menjijikkan dan ada kesan tak ada rasa bersalah apalagi malu pada aparat penegak hukum di negeri ini.
Jangka waktu yang hanya 2 (dua) bulan untuk menetapkan vonis tersebut juga layak dan banyak menimbulkan kecurigaan umum. Publik jelas berhak untuk menaruh curiga mengingat kasus pengajuan PK yang telah diajukan jauh sebelum PK PT. KPC telah lama menumpuk di ruang redaksi MA dan tidak kunjung ada kejalasan proses penyelesaiannya. Apalagi jika dikaitkan dengan yang Empunya perusahaan sebagai “Manusia setengah dewa” di negeri ini dan punya jejak rekam yang menyakiti nurani publik di negeri ini, saat ini bertambah kuasanya setelah menjadi ketua Sekretariat Bersama Koalisi Parpol.
Alasan MA dalam memvonis kemenangan bagi PT. KPC tersebut adalah disebabkan karena adanya cacat prosedural sehingga terjadi ketidaksempurnaan secara Yuridis, suatu hal, yang di dalam hukum acara peradilan akan mengakibatkan hal yang fatal. Cacat Yuridis menurut amar keputusan MA adalah karena DJP menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang diterbitkan sebelum Laporan Pemeriksaan Pajak Sumir, dimana menurut prosedur seharusnya dilakukan sebaliknya. Itu saja. Kesalahan prosedural ini pula yang menjadi alasan yang sama atas kekalahan DJP pada saat pengajuan banding di Pengadilan Pajak. Kalau memang terjadi kesalahan seperti itu, publik tentu akan memberikan judgement yang keras atas kecerobohan diri DJP yang telah mengajukan upaya hukum kedua kalinya bahkan sampai dengan upaya hukum luar biasa melalui pengajuan kasasi melalui MA tetapi tetap saja kalah. Boleh jadi khalayak akan berpikir, bahwa motif pengajuan upaya-upaya hukum tadi hanyalah untuk sedikit mengurangi atau bahkan akan melempar kecerobohannya tersebut pada pihak lain . Dalam pikiran DJP (mungkin) bahwa yang penting kita sudah melakukan upaya hukum yang maksimal untuk mengoreksi kesalahan tadi. Suatu motif yang sangat sangat ceroboh apabila memang demikian tujuannya.
Efek atau dampak putusan tersebut tidak bisa dianggap remeh. Suatu hal yang pasti, bahwa hal itu jelas sangat menyakitkan bagi pembayar pajak (Wajib Pajak) yang lainnya yang selama ini telah memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik. Dalam bahasa mereka : “ Enak bener, sudah maling, jelas ketahuan, dilegalkan pula dengan putusan, hanya gara-gara kesalahan prosedur yang dilakukan oleh aparat pajak. Keparat”. Boleh saja pembayar pajak yang lain berkomentar seperti itu, apalagi kalau mereka yang selama ini selalu berusaha taat dan tertib pada aturan, memenuhi segala kewajiban perpajakannya sebagai warga negara yang baik. Putusan itu bisa menjadi preseden yang buruk bagi aparat pemungut pajak di negeri ini, jangan-jangan putusan yang telah dibuat selama ini sebagai hasil kegiatan pemeriksaan juga cacat prosedur seperti halnya kasus KPC. Selama ini Wajib Pajak sebagian besar hanya menerima saja tanpa harus pusing bertanya-tanya prosedur dan dasar hukum ketetapan pajak yang mereka terima. Padahal, mereka berhak untuk itu semua, dan yang pasti DJP harus memenuhi untuk memebrikan sejelas-jelasnya apabila ada permintaan penjelasan atas hasil pemeriksaan yang berpotensi menjadi dispute antara Wajib Pajak dengan aparat.
Kembali ke vonis tadi, seharusnya dengan kenyataan kekalahan ini akan menjadi trigger bagi DJP untuk lebih memberi perhatian atas masalah prosedur ini. Dan yang lebih penting bagi publik adalah bagaimana upaya-upaya lainnya yang harus dilakukan oleh DJP untuk menuntaskan kasus ini setuntas-tuntasnya dan setegas-tegasnya untuk memberikan kepercayaan lagi pada publik bahwa masih ada keadilan di negeri ini. Apalagi ditengah gencarnya era modernisasi dan keterbukaan yang terjadi di tubuh DJP. Jangan sampai ditafsirkan bahwa keterbukaan itu sendiri memiliki arti bahwa DJP melakukan kebobrokan demi kebobrokan secara terbuka. Kesalahan prosedural tidak bisa dijadikan alasan untuk me-meti- eskan kasus ini. Harus ditelusuri dengan cermat apakah memang ada kesengajaan disini.

Minggu, 30 Mei 2010

Penggunaan Aplikasi e-SPT bagi Wajib Pajak pada DJP








Elektronik SPT atau disebut e-SPT adalah aplikasi (software) yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk digunakan oleh Wajib Pajak untuk kemudahan dalam menyampaikan SPT.


Beberapa kelebihan/keuntungan apabila Wajib Pajak menggunakan aplikasi e-SPT adalah :



  1. Penyampaian SPT dapat dilakukan secara cepat dan aman, karena lampiran dalam bentuk media CD/disket.

  2. Data Perpajakan Terorganisasi dengan baik

  3. Sistem aplikasi e-SPT mengorganisasikan data perpajakan perusahaan dengan baik dan sistematis

  4. Penghitungan dilakukan secara cepat dan tepat karena menggunakan sistem komputer
    Kemudahan dalam membuat Laporan Pajak

  5. Data yang disampaikan WP selalu lengkap, karena penomoran formulir dengan menggunakan sistem komputer.

  6. Menghindari pemborosan penggunaan kertas

  7. Berkurangnya pekerjaan-pekerjaan klerikal perekaman SPT yang memakan sumber daya yang cukup banyak (bagi Kantor Pajak).

Untuk aplikasi/installer e-SPT sendiri , untuk saat ini sudah tersedia untuk jenis SPT sebagai berikut :


  • e-SPT PPh Pasal 21


  • e-SPT PPh Masa


  • e-SPT Tahunan PPh Badan


  • e-SPT Tahunan PPh OP


  • e-SPT PPN


Bagi Wajib Pajak yang akan menggunakan e-SPT sebagai media pelaporan, maka langkah penggunaannya secara singkat adalah sebagai berikut :



  1. WP melakukan instalasi aplikasi e-SPT pada sistem komputer yang digunakan untuk keperluan administrasi perpajakannya.


  2. Wajib Pajak menggunakan aplikasi e-SPT untuk merekam data-data perpajakan yang akan dilaporkan, antara lain:
    -Data Identitas WP Pemotong/Pemungut dan Identitas WP yang dipotong/dipungut seperti NPWP, Nama, Alamat, Kode Pos, Nama KPP, Pejabat Penandatangan, Kota, Format Nomor Bukti Potong/Pungut, Nomor awal Bukti Potong/ Pungut, Kode Kurs Mata Uang yang digunakan.

    -Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh.

    -Faktur Pajak.

    -Data perpajakan yang terkandung dalam SPT.

    -Data Surat Setoran Pajak (SSP), seperti: Masa Pajak, Tahun Pajak, tanggal setor, NTPP, kode MAP/KJS, danjumlah pembayaran pajak.


  3. Wajib Pajak yang telah memiliki sistem administrasi keuangan/perpajakan sendiri dapat melakukan proses impor data dari sistem yang dimiliki Wajib Pajak kedalam aplikasi eSPT dengan mengacu kepada format data yang sesuai dengan aplikasi eSPT.


  4. Wajib Pajak mencetak Bukti Potong/Pungut dengan menggunakan aplikasi e-SPT dan menyampaikannya kepada pihak yang dipotong/dipungut.


  5. Wajib Pajak mencetak formulir Induk SPT Masa PPh dan atau SPT Masa PPN dan/atau SPT Tahunan PPh menggunakan aplikasi eSPT.


  6. Wajib Pajak menandatangani SPT Masa PPh/PPN dan/atau SPT Tahunan PPh hasil cetakan aplikasi e-SPT.


  7. Wajib Pajak membentuk file data SPT dengan menggunakan aplikasi e-SPT dan disimpan dalam media komputer (disket, CD, dsb).


  8. Wajib Pajak melaporkan SPT dengan menggunakan media elektronik ke KPP dengan membawa formulir Induk SPT Masa PPh/PPN dan/atau SPT Tahunan PPh hasil cetakan e-SPT yang telah ditandatangani beserta file data SPT yang tersimpan dalam media komputer sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


  9. Wajib Pajak melaporkan SPT secara elektronik ke KPP dengan membawa formulir Induk SPT Masa PPh/PPN dan/atau SPT Tahunan PPh hasil cetakan eSPT yang telah ditandatangani dengan membawa Berita Acara Serah Terima Informasi SPT yang dikirim secara elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


Penggunaan Aplikasi e-SPT PPN terkait dengan berlakunya UU PPN baru



Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2010, maka bagi Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT diatur ketentuan-ketentuan mengenai penyampaian e-SPT selama belum ada aplikasi baru melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-59/PJ/2010 tanggal 3 Mei 2010.Dalam SE-59/PJ/2010 ini ditegaskan ketentuan sebagai berikut:Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT tetap menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107 yang digunakan saat ini sampai Formulir SPT Masa PPN yang baru selesai dibuat yang rencananya akan digunakan paling lambat 1 Januari 2011.Untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerbitkan Faktur Pajak kepada pembeli tanpa identitas dan Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak dalam rangka penyerahan BKP kepada turis asing, pelaporan dalam aplikasi e-SPT PPN 1107 dilakukan dengan cara menggunggung nilai Dasar Pengenaan Pajak dan PPN-nya dalam Lampiran 1107 A Bagian III "Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak Sederhana".Bagi PKP Toko Ritel yang ditunjuk melakukan penyerahan kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107, wajib melampirkan Daftar Rincian Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Lampiran PER-14/PJ/2010 secara manual. Daftar Rincian tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT Masa PPN Toko Ritel yang bersangkutan.Sedangkan bagi PKP lainnya yang melakukan penyerahan kepada pembeli tanpa identitas (Nama dan NPWP pembeli tidak diisi) tidak wajib melampirkan daftar rinciannya pada saat menyampaikan e-SPT PPN 1107 tetapi cukup mengadministrasikan rincian tersebut.Untuk mengakomodir apabila terjadi Nomor Faktur Pajak yang diinput dalam aplikasi e-SPT PPN 1107 A Bagian II "Penyerahan dalam Negeri Dengan Faktur Pajak" tidak berurutan, maka Wajib Pajak terlebih dahulu mengubah setting aplikasi e-SPT PPN 1107 pada Informasi Profile bagian Penomoran Faktur diubah menjadi input manual.Bagi PKP yang melakukan Kegiatan Usaha Tertentu (sesuai Peraturan Menkeu 79/PMK.03/2010) dan menyampaikan SPT Masa PPN menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107 cara Penghitungan Norma agar terlebih dahulu mengunduh (download) aplikasi e-SPT PPN 1107 versi 3.1 dengan melakukan penyesuaian formulasi penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Sumber :
1. www.pajak.go.id
2. www.syafrianto.blogspot.com